Lirik Lagu Band Atau Penyanyi Musisi Indonesia Berdasarkan Huruf Abjad
0-9 A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z

Cerita Rakyat Yogyakarta : Alas Bantal Watu

Alas Bantal Watu
Cerita Rakyat Yogyakarta

Pada saat Prabu Brawijaya bertahta di Kerajaan Majapahit, di daerah Jawa Tengah tumbuh kerajaan baru di Demak yang bercorak Islam. Kerajaan Demak ini semakin lama semakin besar dan pengaruhnya, tarutama agama yang dianutnya, meluas hingga ke pusat kerajaan Majapahit. Hal ini menyebabkan kekuasaan Kerajaan Majapahit menjadi terdesak dan memaksa orang-orang yang tidak mau diislamkan melarikan diri dari keraton. Mereka melarikan diri tidak dalam satu kelompok besar, tetapi terpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil.

Salah satu diantara sekian banyak kelompok kecil tersebut adalah kelompok Prabu Brawijaya dan Permaisurinya beserta beberapa pengawalnya. Dalam kelompok ini Sang Prabu juga membawa anjing kesayangannya yang berwarna hitam. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya ini melarikan diri menyusuri pantai selatan Pulau Jawa, ke arah barat, hingga sampai di daerah Gunung Kidul, yang sekarang termasuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam pelarian tersebut, agar tidak diketahui oleh siapa pun, lebih-lebih oleh pasukan Kerajaan Demak yang mengejarnya, maka Prabu Brawijaya dan Permaisuri, selalu “matur kawula” (menyamar sebagai rakyat jelata).

Pada suatu ketika, Sang Prabu dan Permaisuri di menemukan sebuah goa, di tepi Sungai Maja. Setelah masuk ke dalam goa, Sang Prabu merasa bahwa goa tersebut sangat cocok untuk tempat bersembunyi, karena tempatnya terpencil dan di dalamnya memiliki sebuah sendang (sumber air, danau kecil). Sendang ini oleh Prabu Brawijaya dinamakan Sendang Tuban[1]. Dengan adanya sendang di dalam goa itu, bila sewaktu-waktu Sang Prabu dan Sang Permaisuri memerlukan air, tidak usah keluar dari dalam goa tempat mereka bersembunyi.

Setelah beberapa waktu lamanya menetap di dalam sebuah goa tersebut, Sang Prabu dan Permaisuri beserta anjing hitam kesayangannya, lalu pindah mencari tempat persembunyian yang lain lagi, yang diperkirakan lebih aman. Untuk tempat bersembunyi berikutnya, Sang Prabu memilih sebuah goa lagi, yang letaknya tidak jauh dari tempat persembunyian Sendang Tuban.

Pada suatu hari, ada seseorang yang sedang mencari kayu di sekitar goa tempat Prabu Brawijaya bersembunyi. Saat itu ia melihat anjing hitam kesayangan Prabu Brawijaya sedang bermain. Setelah diikutinya, ternyata si anjing masuk ke dalam goa. Berita tentang keberadaan anjing hitam di dalam goa, segera ia sampaikan kepada penduduk yang bermukim di sekitar hutan itu. Keesokan harinya, mereka secara beramai-ramai menuju goa untuk menangkap anjing hitam itu.

Setelah berhasil menggiring si anjing hitam hingga masuk ke dalam goa, mereka kemudian mengikutinya masuk. Namun ketika berada di dalam, si anjing yang mereka giring itu tidak mereka jumpai. Yang ada di dalam goa itu hanyalah sebuah sendang, yang airnya melimpah dan sangat jernih. Mereka heran. Mereka melihat dengan mata mereka sendiri, bahwa anjing hitam itu tadi masuk ke dalam goa. Tetapi, kini di dalam goa itu tidak mereka jumpai apa-apa, kecuali sebuah sendang.

Melihak kejadian ini, diantara mereka ada yang menduga, bahwa anjing hitam itu menghilang karena ia kajiman (segala sesuatu yang berhubungan dengan jin). Dan, ada pula yang mengira bahwa si anjing telah berubah menjadi sendang. apapun alasannya, berkat anjing hitam itu akhirnya mereka menemukan sendang yang sangat jernih yang airnya melimpah. Sendang itu oleh mereka dinamakan Sendang Sureng.

Dari Sendang Sureng itu, Sang Prabu dan Sang Permaisuri mencari tempat persembunyian yang lain lagi. Dengan menyusuri pantai selatan, mereka berjalan ke arah barat, yang diikuti pula oleh anjing hitam kesayangannya.

Pada suatu ketika, sampailah mereka di sebuah desa yang bernama Gebang Sawar. Saat itu ada salah seorang pemduduk di Desa Gebang Sawar yang sedang mempunyai hajat dengan menanggap wayang. Sang Prabu dan Permaisurinya yang telah lama tidak menyaksikan hiburan, menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan wayang di Desa Gebang Sawar tersebut.

Namun, setelah segala perlengkapan yang diperlukan sudah siap, sang dalang belum belum datang juga. Menurut berita, si dalang mendadak sakit. Hal ini tentu saja membuat orang yang punya hajat itu menjadi bingung dan cemas. Betapa besar rasa malunya nanti, bila pergelaran wayang itu sampai gagal.

Mengetahui penyebab yang mencemaskan orang yang punya hajat itu, Prabu Brawijaya mendekatinya, dan berkata: “Kalau Ki Sanak mau pertunjukan yang ala kadarnya, saya sanggup menggantikannya.”

Orang yang nanggap wayang itu semula ragu-ragu. Apakah orang yang dihadapinya itu benar-benar dapat “ndalang”. Kalau hanya sekedar dapat saja, dia belum puas. Dia nanti akan mendapat malu di depan para tamunya, bila menampilkan dalang yang biasa-biasa saja. Namun, karena dalang yang ditunggu tidak kunjung datang, akhirnya dia terpaksa menerima tawaran orang yang belum dikenal itu, daripada gagal sama sekali.

Setelah Prabu Brawijaya yang menyamar menjadi dalang mulai mendalang, ternyata para tamu undangan dan semua orang yang menyaksikan pementasan wayang itu sangat terpesona dan kagum menyaksikan kemahirannya. Pesindennya, yang diperankan oleh Permaisuri, juga bagus dan suaranya sangat merdu. Belum pernah mereka mendengar suara semerdu itu.

“Dalang dari manakah itu?” tanya seorang tamu kepada yang lainnya.

“Saya tidak tahu,” jawab yang ditanya. “Bagus sekali dia mendalang.”

“Ya, bagus sekali,” yang lain lagi menyambung. “Belum pernah saya menyaksikan permainan wayang sebagus ini.”

“Pesindennya juga bagus,” sela tamu lainnya.

“Ya. Bagus sekali,” lainnya menambah. “Dari manakah pesindennya itu?”

“Menurut tuan rumah, pesindennya adalah isteri Ki Dalang,” tamu yang lain lagi menerangkan.

Selesai mendalang, orang yang disebut Ki Dalang dan pesindennya tadi cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Oleh tuan rumah mereka ditahan agar mau makan-minum, tetapi Ki Dalang tidak mau. Diberi imbalan, juga tidak mau menerima.

Beberapa saat setelah Ki Dalang dan isterinya pergi, berbicaralah si tuan rumah kepada isterinya: “Aneh sekali sikap Ki Dalang itu. Sama sekali dia tidak mau menerima imbalan.”

“Padahal bagus sekali dia mendalang,” sahut isterinya.

“Ya. Bagus sekali,” sambung suaminya.

“Siapa namanya Ki Dalang itu?” tanya isterinya.

“Aduh, saya lupa menanyakannya,” jawab suaminya. “Yang jelas, dia bukan penduduk di desa-desa sekitar sini. Saya belum pernah berjumpa dengan orang itu.”

“Padahal jasanya besar sekali,” kata isterinya.

“Benar. Jasanya besar sekali. Berkat kemahiran dia mendalang, maka kita tidak jadi mendapat malu di depan tamu-tamu yang kita undang.”

“Kita perlu mengucapkan terima kasih kepadanya,” kata isterinya.

“Aduh, mbokne, aku sampai lupa menyampaikan ucapan terima kasih,” kata si suami bagai seseorang yang terjaga dari lamunannya. “Baiklah, akan aku susul mereka. Bagaimana pun, aku harus mengucapkan terima kasih.”

Setelah berkata begitu, cepat-cepat si suami berangkat untuk menyusul perjalanan Ki Dalang. Namun, setelah berkeliling mencari hingga ke batas desa, akhirnya ia kembali ke rumahnya karena Ki Dalang dan sindennya sudah tidak tampak lagi.

Perjalanan Prabu Brawijaya dangan Permaisuri, yang menyamar sebagai Ki Dalang dan pesindennya, dari Desa Gebang Sawar diteruskan menuju ke arah barat laut. Saat berada di tengah hutan, beristirahatlah mereka karena merasa sangat lelah akibat mendalang semalaman. Tak lama kemudian suami-isteri itu pun tidur pulas.

Pada waktu terjaga dari tidurnya, tahulah Sang Prabu dan Permaisuri, bahwa yang dipergunakan untuk bantal waktu tidur tadi, sebenarnya hanyalah batu. Meskipun bantalnya hanya batu, tetapi ternyata mereka dapat tidur dengan nyenyak. Sejak itu, maka hutan tempat Prabu Brawijaya tertidur pulas itu lalu dinamakan “Alas Bantal Watu” atau Hutan Bantal Batu.

Dari hutan itu, Sang Prabu, Permaisuri beserta anjing kesayangannya melanjutkan perjalanan ke arah tenggara, hingga sampai di sebuah pantai yang sekarang dikenal dengan nama Kukup. Dari Pantai Kukup Sang Prabu Brawijaya dan Sang Permaisuri lalu melanjutkan perjalanannya berkelana hingga akhirnya mereka berdua mangkat dengan “muksa” (hilang tanpa bekas). Ada pula yang mengatakan, bahwa Sang Prabu sampai di Gunung Kawi, dan mengganti namanya menjadi Kyai Jugo atau Mbah Jugo.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bookmark and Share it:

0 komentar:

Post a Comment