Begawan Selapawening
Cerita Rakyat Yogyakarta
Menurut cerita rakyat yang hidup di kalangan masyarakat Desa Pamancingan, nama desa ini diambil dari tempat di mana Begawan Selapawening dan Syekh Maulana Maghribi melakukan pertandingan memancing. Begawan Selapawening adalah salah seorang dari sekian banyak putera-puteri raja Majapahit, Prabu Brawijaya terakhir. Nama Begawan Selapawening itu mungkin bukan nama sebenarnya, melainkan hanya nama samaran untuk menutup kenyataan bahwa ia sebenarnya adalah putera raja Majapahit.
Adapun sebab-musabab kepergian Begawan Selapawening dari Kerajaan Majapahit (wilayah Jawa Timur) sampai ke pesisir selatan (wilayah Yogyakarta), menurut cerita ada hubungannya dengan mulai meluasnya pengaruh ajaran agama Islam di wilayah Jawa. Karena pengaruh meluasnya ajaran agama Islam, bahkan sampai ke pusat kerajaan Majapahit, maka yang tidak rela melepaskan agama yang telah mereka anut menjadi terdesak, lalu menyingkir atau melarikan diri ke daerah yang dianggap lebih aman dan bebas.
Begawan Selapawening beserta para pengikutnya yang tidak bersedia memeluk Islam, memilih melarikan diri menyusuri pantai selatan Pulau Jawa. Pada saat rombongan tiba di pantai selatan wilayah Yogyakarta (sekarang dikenal sebagai obyek pariwisata dengan nama Parangtritis), Begawan Selapawening sebagai pemimpinnya, melihat dua buah bukit yang dirasa cocok untuk bermukim. Di tempat itu ia bersama para pengikutnya mendirikan sebuah padepokan.
Pada suatu ketika, datanglah Syekh Maulana Mahgribi ke daerah padepokan Begawan Selapawening, dengan maksud untuk menyebarkan ajaran Islam di sana. Agar usahanya berhasil tanpa hambatan, maka Syekh Maulana Mahgribi bukan langsung menyebarkan ajaran agama kepada para penduduk di wilayah desa itu, melainkan lebih dahulu menemui penguasa atau orang yang berpengaruh di desa itu untuk meminta izin. Syekh Maulana Mahgribi kemudian menemui Begawan Selapawening di padepokannya, sebab tahu betapa besar pengaruh Begawan Selapawening terhadap masyarakat di sekitarnya.
Kepada Begawan Selapawening, Syekh Maulana Mahgribi mengutarakan maksudnya akan menyiarkan ajaran agama Islam di wilayah itu. Secara terus-terang Syekh Maulana Mahgribi mengharapkan kesediaan Begawan Selapawening melepaskan agama yang kini dianutnya, dan menerima ajaran Islam. Atau setidak-tidaknya bersedia memberikan keleluasaan kepada para anak buah dan pengikutnya memeluk agama Islam.
Namun diluar dugaan, Begawan Selapawening tidak menyetujui permohonan izin Syekh Maulana Mahgribi. Begawan Selapawening baru akan menyetujui apabila kesaktian Syekh Maulana Mahgribi mampu menandingi kesaktiannya. Untuk mengukur ketinggian kesaktian masing-masing, maka harus diadakan pertandingan adu kesaktian.
Pertandingan pertama adalah “dhelikan” atau bersembunyi. Begawan Selapawening dipersilahkan bersembunyi lebih dahulu dengan mengerahkan kesaktiannya, sampai ibarat seribu pasang mata tak akan dapat melihatnya. Tetapi ternyata Syekh Maulana Mahgribi berhasil menemukan Begawan Selapawening di tempat persembunyiannya. Sebaliknya pada waktu Syekh Maulana Mahgribi bersembunyi, Begawan Selapawening tidak mampu menemukannya, meskipun telah mengerahkan segenap kemampuan atau kesaktiannya.
Pertandingan selanjutnya ialah pertandingan memancing. Pelaksana pertandingan memancing itu diselenggarakan di muara Sungai Opak di pantai “Segara Kidul”[1]. Begawan Selapawening diberi kesempatan lebih dahulu menunjukkan kemahirannya atau kesaktiannya dalam bidang memancing. Dengan tenang dan dengan gaya yang mantap Begawan Selapawening melemparkan mata pancingnya ke dalam air. Dalam waktu singkat ditariknya pancing itu. Ternyata pancing itu telah mendapatkan seekor ikan yang sangat besar. Semua orang yang hadir dan menyaksikan peristiwa itu menyatakan kekaguman dan keheranannya. Mereka semua mengakui bahwa Begawan Selapawening adalah orang yang sakti.
Sampailah kini giliran Syekh Maulana Mahgribi menunjukkan kemahiran atau kesaktiannya memancing. Orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu menduga bahwa sukarlah bagi Syekh Maulana Mahgribi untuk menandingi atau mengungguli kemampuan Begawan Selapawening.
Pada waktu Syekh Maulana Mahgribi melemparkan mata pancingnya ke dalam air dan dengan cepatnya Syekh Maulana Mahgribi menarik pancingnya kembali. Sesuatu benda pun turut tertarik pada mata pancing itu, dan begitu ditarik lalu tergeletak di samping Syekh Maulana Mahgribi.
Benda itu tidak lain ialah ikan besar yang telah matang. Siapa yang menginginkan dapat langsung memakannya begitu saja, sebab ikan itu sudah masak. Bau segar ikan yang telah masak itu menusuk hidung setiap orang yang hadir di sana.
Akhirnya Begawan Selapawening menyadari, bahwa kesaktian Syekh Maulana Mahgribi melebihi kesaktian yang dia miliki. Begawan Selapawening lalu mengakui kekalahannya. Padepokan yang didirikannya itu lalu diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi dan ia sendiri lalu pindah ke tempat lain, yang letaknya lebih rendah dari padepokannya semula (puncak Bukit Sentana).
Oleh Syekh Maulana Mahgribi bekas padepokan itu lalu dijadikan pondok pesantren, tempat untuk menampung mereka yang akan memperdalam ajaran agama Islam dan ilmu kanuragan. Sedangkan walesan (tangkai kail) yang dahulu dipergunakan untuk memancing waktu diadakan pertandingan dengan Begawan Selapawening, oleh Syekh Maulana Mahgribi ditancapkan di kebun belakang padepokan yang kini telah dijadikan pondok pesantren. Ternyata walesan yang terbuat dari bilah bambu itu setelah ditancapkan di kebun oleh Syekh Maulana Mahgribi, lalu tumbuh menjadi rumpun bambu yang rimbun, dan masih ada sampai sekarang. Bambu yang berasal dari rumpun itu disebut “bambu Sentana” atau “bambu Pamancingan”. Menurut kepercayaan, bambu sentana atau bambu Pamancingan itu keramat.
Di dalam pondok pesantren, Syekh Maulana Mahgribi juga membuat pancuran air, untuk mandi dan wudhu para santrinya. Pancuran air yang dibuat oleh Syekh Maulana Mahgribi itu, sampai sekarang masih ada, dan dikenal dengan nama Segara Muncar. Tempat diadakannya pertandingan memancing antara Syekh Maulana Mahgribi dengan Begawan Selapawening ini akhirnya disebut sebagai Desa Pamancingan.
Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
0 komentar:
Post a Comment